Jumat, 31 Desember 2010

Menafsir Ulang Arti Tahun Baru



Satu hari lagi kita memasuki tahun baru. Tahun yang tidak saja menandakan pergantian waktu tapi juga menuntut sejumlah harap. Bahwa, kelak memasuki tahun 2011 kita dapat merasakan perubahan-perubahan yang berarti di negeri yang bernama Indonesia. Harapan akan perubahan itu berjibaku di antara antrean peristiwa yang mengguras ibah pun juga memompa emosi.
Dua atau tiga bulan sebelum memasuki 2011 negeri ini dibuat menangis. Musibah berdatangan. Bencana berantrean panjang menggasak harta dan nyawa. Mulai dari bencana alam banjir, tsunami, letusan merapi, penyiksaan buruh migran (TKI) yang tak kunjung usai, serta sejumlah kasus hukum yang tak kunjung tuntas dikuak.

Hampir setiap saat kita dibuat berang dan berkerut kening di depan layar kaca (TV). Bahwa, betapa negeri ini sebegitu keruh diobok oleh laku dan moralitas berlumpur. Padahal, kita punya begitu banyak pemimpin, ustat dan ulama, dan kaum cerdik-pandai. Tapi, baris panjang kebaradaan mereka tak begitu berarti melonggarkan sumpek dan gerahnya rakyat terhadap perilaku aparat pemerintah yang kian gelap mata dan gelap hati.

Korupsi semakin endemik. Tak satu pun celah birokrasi yang hampa perilaku koruptif. Mereka bertaburan. Bak semut mengerubuni gula. Dari meja sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT) orang bertanya.

Apa gerangan yang menyebabkan pemerintah kita sedemikian korup? Meski ada tersisah sekelompok orang baik-baik. Tapi, lebur kebegalan laku itu telah merata di setiap ruang sosial dan birokrasi pemerintahan. Nalar korupsi mencekoki kita. Dari RT (Rukun Tetangga) hingga di sekitar lingkungan Istana Presiden.

Tak kunjung usai membanjirnya perilaku amoral koruptif serasa Tuhan menegur kita dengan setumpuk bencana. Kita begitu tersentak bahwa tanpa tanggung-tanggung Tuhan langsung menegur kita secara vulgar.

Hal itu berasa. Bahwa belum usai sekian ragam kenistaan bencana langsung menyergap. Ibarat musibah yang menimpa kaum-kaum terdahulu yang ingkar pada guru moralnya (nabi). Lalu apa kita pernah sadar akan hal ini?

Bahwa perilaku dosa dan gejolak alam adalah dua hal yang saling menandai (designate). Atau sederhananya teguran dan peringatan. Inilah refleksi tahun baru.

Arti Baru
Yang membuat pergantian tahun baru itu menarik adalah ada kata "baru". Sesiapa pun menggandrungi hal ini. Anak kecil, orang dewasa, kakek atau nenek jompo, hingga orang gila. Bila dikasi sesuatu yang baru semuanya senang.

Begitulah hakekat dasar manusia. Bila disuruh memilih hal yang lama dan yang baru pasti langsung memilih yang baru. Namun, soalnya adalah terkadang kita kabur-air mensubstansiasikan "arti baru".

Karena tahun baru itu semua orang bersuka cita. Turun ke jalan, karnaval, dan membuat komitmen akan perubahan di tahun yang baru dengan cara yang ragam dan aneh-aneh. Mulai dari muhasabah (evaluasi diri) hingga ekspresi kesenangan dengan pesta dan mabuk-mabukan.

Yang menarik adalah jika semua orang menafsirkan arti baru itu serupa dengan perubahan. Bahwa perubahan waktu bukanlah pergantian waktu secara material an sich. Tapi, pergantian waktu sebenarnya berporos pada aspek mikro kosmik manusia.

Jalaludin Rumi mengartikan rotasi atau siklus waktu sesngguhnya berporos pada inti kesadaran manusia. Maka di sini perubahan bermakna transformasi kesadaran sifat dan laku manusia. Dari sifat lama yang buruk ke sikap baru yang lebih hanif.

Meminjam istilah Dr Abdul Munir Mulkan disebutnya sebagai proses trans-human. Atau gerak kesadaran dari manusia lama yang bobrok ke manusia baru yang lebih ilahi.

Jika perubahan itu adalah suatu yang berpindah dari titik 0 ke titik n maka demikian pun manusia, dalam kaitannya dengan perubahan mikro kosmis, perubahan mengandung arti perubahan sikap lama (yang buruk) menuju sikap baru (yang hanif) dan seterusnya menuju kearifan puncak manusia. Di sinilah kita semestinya membenam dan mencelupkan diri dalam arti baru yang sesungguhnya.

Yang terjadi selama ini kita cenderung menjadikan waktu sebagai objek yang disukuri. Padahal, waktu cumalah tanda (sign). Rasa sukur mestinya ditujukan pada realitas puncak dari waktu atau yang menciptakan waktu. Akibat persepsi yang keliru inilah terkadang kesukuran terhadap waktu atau semisal "tahun baru" diisi dengan perilaku yang hedon dan terkadang berlebihan.

Dengan pengertian di atas maka sejatinya kita tidak pantas mengisi tahun baru dengan berhura-hura dan perilaku reaktif yang hedon. Bagi seorang yang religius dia semestinya sadar. Bahwa, pergantian waktu membuat jaraknya dengan kematian semakin dekat. Dengan demikian amalan akhiratnya perlu diperpadat sejak dini.

Demikian pun bagi seorang pengusaha, pelajar, pejabat, dan kelompok manusia lainnya. Meski bertambah peka bahwa ke depan banyak tantangan yang terbentang di depan mata. Yang bisa kita lakukan adalah pemperkuat perubahan dengan vitalitas yang baru.

Abdul Munir Sara

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar, namun tetap menjaga kesopanan